A Journey Beyond Studio, Tongkonan in Toraja gives me Shiver Down My Spine (2017)
Perjalanan ke Makassar dan Toraja bareng mahasiswa arsitektur UNSRI di awal tahun 2017 adalah salah satu yang paling istuimewa. Bukan cuma soal tempatnya yang memukau dan sulit dijangkau, tapi karena momen seru yang terjadi sepanjang jalan. Ini adalah pengalaman kali pertama saya sebagai seorang dosen muda untuk mengawal mahasiswa perjalanan KKL ke suatu area. Mahasiswa memilih sendiri lokasi tujuan mereka. Dan tentu saja Tana Toraja adalah impian semua mahasiswa arsitektur untuk dikunjungi. Termasuk saya, yang selalu bermimpi kapan ya bisa melihat indahnya keberagaman arsitektur tradisional Indonesia.
Tiba di Makassar – Losari
Pagi-pagi kami berkumpul di bandara, untuk bersiap melakukan perjalanan udara menuju tempat tujuan. Saat itu ada 3 dosen pembimbing termasuk saya. Penerbangan dari Palembang, transit di Jakarta, lanjut ke Makassar, dan saat pesawat mendarat, suasana yang berbeda langsung menyambut. Makassar punya ciri yang khas, panas tapi hangat, ramai tapi akrab.
Hari pertama, kami langsung jalan ke Pantai Losari. Matahari tenggelam perlahan, langit berubah jadi oranye keemasan. Semua orang berkumpul di pesisir menikmati senja kala itu. Suara deburan ombak dan angin sore terdengar di latar.
Usai matahari terbenam, dan langit pun gelap, tak lengkap rasanya kalau belum mencicipi Coto Gagak, kuliner legendaris yang sudah ada sejak tahun 1970-an. Tempat ini bukan hanya warung makan, tapi semacam “ritual wajib” bagi siapa pun yang baru tiba di kota ini. Yang menarik, nama “Gagak” bukan berarti daging gagak, tapi diambil dari nama Jalan Gagak, tempat warung ini berdiri sejak puluhan tahun lalu. Sekarang, Coto Gagak sudah jadi ikon kuliner Makassar. Lokasinya hanya beberapa menit dari Pantai Losari dan buka 24 jam, cocok untuk sarapan, makan siang, atau tengah malam setelah jalan-jalan.
Mengunjungi Universitas Hassanuddin
Hari kedua, kami menuju Universitas Hasanuddin. Tak lengkap rasanya kalau KKL tapi tidak mengunjungi sebuah kampus untuk meakukan studi banding. Begitu masuk kampus, sambutannya hangat. Seperti reunian padahal baru ketemu. Kami saling bertukar cerita mengenai perkuliahan di arsitektur, presentasi tentang waterfront Palembang dan Makassar, lalu diskusi seru tentang kota, lingkungan, dan kehidupan mahasiswa. Di situ terasa banget, ilmu itu bukan cuma soal buku dan kelas, tapi juga pertemuan, obrolan, dan tawa bareng orang baru.
Menuju Tana Toraja
Malamnya, kami memulai perjalanan naik bus dan mobil ke Tana Toraja. Perjalanan panjang sekali, saya berencana untuk menyimpan energi dengan tidur selama perjalanan. Karena setiba di tujuan akan bertugas memantau mahasiswa untuk explore. Dari jalanan kota yang gemerlap perlahan kami masuk ke area perbukitan hijau, sawah, hutan, sampai akhirnya fajar menyapa di Kampung Lolai Negeri di Atas Awan.
Saya masih sangat ingat, malam itu setiba di Tana Toraja dengan pencahayaan minim, saya melihat sekelebat bayangan bangunan yang tinggi sekali di tengah hutan. Ya itu adalah bayangan rumah Tongkonan. Atapnya melengkung tinggi ke atas seperti perahu yang sedang berlayar di langit, berdiri gagah di antara gelap malam. Tujuan utama kami KKL ini, ya untuk melihat dan bercengkrama langsung dengan bangunan yang sangat menawan ini.
Setiba di Lolai matahari mulai menyapa. Begitu turun dari bus, semua langsung terkesima. Kabut tebal menari di antara perbukitan. Rasanya seperti masuk ke dunia di atas awan. Di sini, waktu berjalan lebih pelan. Suasana tenang, udara bersih dan sejuk, dan kami mulai benar-benar menyatu dengan perjalanan.
Dari ketinggian kami melihat sekumpulan rumah Tongkonan berbaris indah seakan menyapa kami yang baru tiba. Dari kejauhan, pemandangan itu seperti lukisan hidup, tenang, tapi penuh makna.
Tau-Tau dan Tebing Batu
Selanjutnya, kami mendatangi kuburan tebing dan gua-gua Toraja. Makam dipahat di batu kapur, dihiasi tau-tau (patung kayu yang melambangkan orang yang telah meninggal). Mereka berdiri tenang di balkon-balkon batu, seolah menjaga tanah dan keturunannya.
Kami berjalan pelan, sebagian mengambil foto, sebagian cuma diam memandangi tau-tau yang seakan menyimpan banyak cerita. Aku menemukan tidak ada kesereman sama sekali. Justru ada rasa damai dan penghormatan yang kuat.
Londa, Pemakaman di Dalam Gua Batu Kapur
Londa adalah salah satu situs pemakaman paling terkenal di Toraja. Lokasinya berupa gua alami di tebing batu kapur, yang dijadikan tempat menyimpan peti mati leluhur. Di dalamnya, kamu akan melihat peti-peti kayu tua bertumpuk di celah gua, beberapa sudah lapuk oleh waktu, sementara tengkorak dan tulang-belulang tertata dengan rapi, bukan sebagai hal menyeramkan, tapi simbol penghormatan dan keberlanjutan hidup.
Di dinding luar gua, terdapat rak kayu tempat meletakkan tau-tau, patung kayu yang menyerupai wajah orang yang telah meninggal. Mereka berdiri berjajar, menghadap lembah, seperti sedang menjaga keturunan yang masih hidup di bawah sana.
Suasana di Londa terasa hening dan magis. Cahaya dari celah gua memantul di dinding batu lembap, sementara udara di dalamnya dingin dan berbau kayu serta tanah tua. Bagi masyarakat Toraja, tempat ini bukan kuburan dalam arti menakutkan, melainkan “rumah kedua” bagi arwah leluhur, tempat mereka beristirahat sekaligus tetap hadir dalam kehidupan keluarga.
Malam itu, kami menginap di rumah Tongkonan milik warga setempat. Udara sejuk bercampur aroma kayu dan tanah lembap, dan langkah kami terasa pelan, seakan takut mengganggu ketenangan tempat itu. Warga menyambut dengan senyum ramah, mengundang kami masuk ke rumah mereka, yang bagi mereka bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga rumah bagi arwah keluarga yang telah pergi.
Setiap rumah tongkonan berdiri berdampingan dengan lumbung padi yang bentuknya hampir sama hanya ukurannya lebih kecil. Dari kejauhan, susunan rumah dan lumbung itu tampak seperti dua baris yang saling berhadapan.
Dalam budaya Toraja, lumbung bukan sekadar tempat menyimpan hasil panen. Ia juga melambangkan kemakmuran, keseimbangan, dan hubungan manusia dengan alam.
Saat berbincang dengan pemilik rumah, saya sempat terdiam mendengar satu hal, di rumah itu masih ada jasad anggota keluarga mereka, seorang kerabat yang meninggal beberapa bulan lalu. Tubuhnya belum dikuburkan, melainkan disimpan di salah satu ruangan, dibungkus dengan kain dan dijaga dengan penuh hormat.
Awalnya, ada perasaan aneh, bahkan sedikit merinding. Tapi bukan karena takut melainkan karena rasa kagum. Bagi masyarakat Toraja, hal ini bukan sesuatu yang menyeramkan atau tabu. Mereka menyebut orang yang telah meninggal tapi belum dikubur sebagai “to’ makula” orang yang sakit, bukan “mati”.
Selama periode ini, keluarga tetap berinteraksi seperti biasa. Mereka berbicara dengan almarhum, memberi sesajen, bahkan “mengundang”nya untuk ikut dalam momen keluarga. Proses ini berlangsung sampai keluarga siap secara ekonomi dan emosional untuk mengadakan upacara pemakaman besar (rambu solo’), yang bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk dipersiapkan.
Saya menatap bangunan itu dari kejauhan. Hening. Tidak ada rasa takut, hanya rasa hormat yang sangat dalam. Rasanya seperti menyentuh garis halus antara dunia yang terlihat dan yang tak terlihat.
Rambu Solo’, Upacara Pemakaman Toraja yang Sakral
Salah satu pengalaman paling istimewa adalah saat kami menghadiri upacara pemakaman Toraja. Kalau biasanya pemakaman identik dengan suasana hening dan sedih, di Toraja justru seperti festival budaya. Ratusan orang berkumpul, pakaian adat, musik, ritual, kerbau, dan prosesi yang penuh penghormatan.
Dari cerita warga, saya baru paham mengapa banyak keluarga menyimpan jasad kerabat mereka selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sebelum dikuburkan. Alasannya bukan karena takut, melainkan tanda kasih dan penghormatan. Selama menunggu, ia tetap tinggal di rumah, diberi makanan, disapa, dan diajak berbicara layaknya masih hidup. Hanya setelah keluarga siap, baik secara emosional maupun finansial, barulah upacara Rambu Solo’ dilaksanakan.
Rambu Solo’ adalah salah satu upacara pemakaman paling megah dan mahal di dunia.
Biayanya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, tergantung status sosial dan jumlah kerbau serta babi yang dikorbankan. Semakin tinggi kedudukan almarhum semasa hidup, semakin besar pula skala upacara yang harus dilakukan, karena itu menjadi simbol kehormatan dan cinta keluarga. Kami sangat beruntung saat itu dapat menyaksian acara sakral ini, karena tidak selalu dilakukan setiap saat.
Biasanya, upacara berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-minggu sesuai dengan kemampuan pihak keluarga. Desa akan dipenuhi tenda bambu dan rumah sementara untuk menampung keluarga besar dan tamu dari jauh. Setiap hari diisi dengan musik, tarian, dan persembahan. Ada juga prosesi arak-arakan peti mati menuju tempat pemakaman, diiringi nyanyian dan tangisan yang bukan semata duka, tapi juga kebanggaan. Saat itu pun banyak turis lokal maupun internasional yang turut menyaksikan acara ini.
Puncaknya adalah pengorbanan kerbau, yang dipercaya akan menjadi kendaraan roh menuju Puya.
Semakin banyak kerbau yang dikorbankan, semakin mulia perjalanan arwah ke alam roh. Namun bagi keluarga, pengorbanan itu bukan soal jumlah atau kemewahan, tapi ungkapan cinta yang tak terukur.
Setelah semua prosesi selesai, peti mati akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhir: ada yang diletakkan di tebing batu ada yang disimpan di dalam gua, atau digantung di dinding batu, tergantung tradisi keluarganya. Beberapa bahkan punya tau-tau, patung kayu yang menyerupai wajah almarhum, sebagai simbol bahwa roh mereka masih menjaga keturunan di dunia.
Kami belajar satu hal penting: cara masyarakat melihat kehidupan dan kematian bisa sangat berbeda, dan semua punya nilai yang dalam.
Desa Kete’ Kesu dan Keindahannya yang Sunyi
Perjalanan kami berlanjut ke Desa Kete’ Kesu, sebuah desa adat yang seolah terhenti di waktu lampau. Dari kejauhan, deretan tongkonan dan lumbung tampak berbaris sejajar, simetris, anggun, dan tenang. Setiap atap melengkung tinggi seperti perahu yang siap berlayar ke langit, sementara ukiran merah, hitam, dan emas di dindingnya bercerita tentang silsilah keluarga dan simbol kehidupan.
Angin berhembus pelan di sela pepohonan bambu, membawa aroma kayu tua dan tanah lembap. Suasana begitu tenang, tapi juga membuat bulu kuduk sedikit berdiri. Bukan karena takut, melainkan karena rasa hormat yang mendalam. Di Kete’ Kesu, kehidupan dan kematian tidak berjarak. Semuanya menyatu dalam harmoni yang sulit dijelaskan dengan logika.
Buntu Burake dan Kembali ke Makassar
Perjalanan kami berlanjut menuju Patung Yesus Buntu Burake, salah satu ikon spiritual sekaligus wisata terbaru di Tana Toraja. Dari kejauhan, patung setinggi lebih dari 40 meter itu berdiri tegak di puncak bukit, dikelilingi awan yang bergerak pelan — seolah benar-benar menjaga Toraja dari langit.
Perjalanan menuju ke atas penuh kelok dan tanjakan, tapi setiap meter yang kami lalui terasa sepadan. Begitu sampai di puncak, seluruh Tana Toraja terbentang seperti lukisan:sawah hijau, lembah dalam, dan deretan tongkonan kecil di kejauhan, semua terlihat damai di bawah langit biru muda.
Perjalanan kembali ke Makassar diisi dengan keheningan yang nyaman. Pemandangan luar berganti dari pegunungan ke kota, tapi pikiran kami masih tertinggal di kabut Lolai, di sunset Losari, di upacara adat Toraja.
Entah apakah perjalanan seperti ini bisa diulang.
Refleksi
Makassar dan Toraja memberi kami lebih dari sekadar destinasi KKL. Mereka memberi kami cerita untuk diceritakan ulang.
Beberapa tahun berlalu, tapi setiap kali mendengar kata “Tana Toraja” atau melihat Rumah, Tradisi, dan Kehidupan yang Tak Pernah Benar-Benar Usai. Tradisi ini mengajarkan saya banyak hal. Bahwa di Toraja, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang antara kehidupan dan kematian.
Mungkin karena itu, setiap rumah Tongkonan terasa hangat meski malam di Toraja sangat dingin.
Mungkin karena di sana, kehidupan masih terus berdenyut, bahkan di antara mereka yang telah pergi.


Comments
Post a Comment